10:04 PM
Contributed by EEPIS News Team
Friday, 15 June 2007
Kurikulum Mengacu Kebutuhan Industri
Perkembangan industri yang pesat menuntut ketersediaan sumber daya manusia yang menguasai teknologi otomatisasi alias robot. Kini, kebutuhan itu mulai direspons kalangan perguruan tinggi. Caranya dengan membuka pendidikan teknik mekantronika.
BAYANGKAN ketika seorang ahli mesin ditantang mengoperasikan motor dengan tegangan 3 ribu volt dan arus 2 ribu ampere secara manual. Pasti dia tidak sanggup mengontrol daya sebesar itu tanpa bantuan komputer. Atau ketika seseorang yang ahli di bidang elektronika ditantang hal yang sama. Mungkin dia langsung mundur karena melihat mesin-mesin sebesar gajah. "Yang akan tetap maju adalah ahli mekantronika, yakni mekanik dan elektronika. Dialah yang mampu menguasai otomasi," tutur Dr Ir Endra Pitowarno M.Eng, ahli robotika Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS)-Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), menyudahi ceritanya.Mekantronika, bidang khusus yang membahas mengenai otomatisasi (atau yang sering disebut otomasi dalam dunia teknik) kini kian dibutuhkan. Suka tak suka, Indonesia juga harus mulai bergerak ke arah itu. Oleh karenanya, perguruan tinggi (PT) sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk mampu menghasilkan ahli-ahli otomasi.Di tanah air, belum banyak PT yang memiliki kekhususan bidang mekantronika. Sebuat saja Universitas Indonesia (UI), Politeknik Manufaktur Bandung, serta yang baru saja membuka program studi (prodi) tersebut PENS-ITS. Institut Teknologi Bandung (ITB) masih merintis untuk membuka program serupa dalam bentuk S-1.Menurut dosen senior Fakultas Teknik UI, Dr Ir Wahidin Wahab, prodi teknik mekantronika yang berada di bawah jurusan teknik mesin tak begitu populer. Banyak mahasiswa teknik mekantronika yang setelah lulus malah bekerja menangani masalah manajerial di perusahaan. "Mereka masih mengejar gengsi dan gaji," katanya. Tren tersebut berlangsung beberapa tahun yang lalu. Apalagi ketika ada larangan dari pemerintah dalam menggunakan tenaga mesin sebagai pengganti manusia beberapa tahun silam. Kini, aku Wahidin, tren itu memang mulai berubah. Kian banyak yang tertarik dengan dunia otomatisasi atau robotika. Tak sedikit remaja yang tergila-gila mengutak-atik kit untuk membuat robot.Pernyataan Wahidin diamini oleh Dr Muljowidodo, ketua laboratorium otomasi dan robotika ITB. Menurut dia, indikasi tersebut sebenarnya sangat positif. Namun, yang harus lebih diperhatikan adalah kurikulum dan penerapannya. Robot yang dihasilkan harus berguna dan benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat kita. "Itu yang akan menjadi nilai tambahnya. Mungkin saja kebutuhan kita dan Singapura berbeda. Sehingga, hanya orang kita yang dapat memenuhi kebutuhan kita," ungkap Muljo ketika ditemui pada final Kontes Robot Indonesia (KRI) dan Kontes Robot Cerdas Indonesia (KRCI) kemarin.Dua poin yang diungkapkan oleh Muljo tersebut yang coba dilaksanakan PENS-ITS. Sebagai politeknik yang baru membuka prodi tersebut, PENS-ITS menetapkan kurikulum yang berbeda. Endra, yang juga menjabat sebagai ketua prodi teknik mekantronika PENS-ITS, mengatakan bahwa kurikulum yang dilaksanakan mahasiswanya adalah kurikulum hasil perkawinan Amerika Serikat (AS) dan Jepang.Hal itu diambil PENS-ITS terutama setelah mempelajari prodi teknik mekantronika di beberapa PT di Indonesia yang memiliki. Dia sependapat dengan Muljo, bahwa mahasiswa mekantronika harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, mereka diberi keseimbangan antara teori dan praktik.Itulah salah satu alasan mengapa PENS-ITS memadukan kurikulum AS (yang diadopsi dari Massachusetts Institute of Technology) dan Jepang (yang diadopsi dari Tokyo Institute of Technology). Endra mengatakan, kurikulum AS cenderung memperdalam teori. Berbeda dengan Jepang yang ketika teori baru setengah matang lantas tak tahan untuk langsung digarap. "Untuk itu kami memadukan kedalaman teori dan semangat untuk langsung menggarap,"’ tegas pria yang rajin menulis buku mengenai robotika tersebut. Menurut dia, mahasiswa harus sering diajak melihat kebutuhan masyarakat saat ini. PENS-ITS memiliki satu mata kuliah untuk mengakomodasi hal itu. Misalnya, satu mata kuliah (yang mereka contoh dari MIT) mewajibkan mahasiswa berkompetisi membikin robot. Namanya, mata kuliah robot competition.Tak cukup sampai di situ, pada akhir kuliah mereka harus mampu menghasilkan suatu karya pada akhir berbentuk. Hanya, Endra menekankan, tentu bukan hanya robot seperti yang dibayangkan kebanyakan orang dengan tangan, kaki, dan mungkin juga kepala.Robot yang dimaksud mungkin saja berbentuk segala rupa. Misalnya lengan, untuk memasang beberapa organ tertentu dalam kapal yang tak mungkin dilakukan manusia. Nah, karena PENS-ITS berkonsentrasi pada tiga bidang, ground robotic vehicle (darat), under water robotic vehicle (dalam air, misalnya kapal selam tanpa pengemudi), dan unman aerial (udara) maka mereka juga akan menghasilkan alat-alat tersebut. "Perguruan tingi di dalam negeri harus rajin bekerja sama dengan perguruan tinggi di mancanegara. Kami sendiri ada kerja sama dengan Jepang. Kami membikin ICT management disaster risk," katanya. Mereka akan bekerja, antara lain, untuk membuat helikopter tanpa awak. Helikopter tersebut dipergunakan saat mengevakuasi korban bencana alam. Selain robot-robot berskala besar seperti itu, Endra mengatakan bahwa mahasiswa juga dituntut mampu mencipatakan robot yang aplikatif untuk kebutuhan industri.(Anita Rahman)
Last Updated ( Monday, 18 June 2007 )
Sumber: http://www.eepis-its.edu/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=13&Itemid=65
ud mnmbah pengetahuan aku tentang mekatronika..